Oleh Dedy Djamaluddin Malik | Ketua Stikom-Bandung
GLOBALISASI bukan hanya mempererat relasi antarkelopok dan bangsa. Ia juga menyuburkan ketegangan dan konflik. Sistem global yang asimetris telah melahirkan kelompok dominan dan kelompok terpinggirkan. Fakta ini menguatkan tesis the clash of civilization-nya Huntington. Kelompok minoritas ada yang pasrah. Ada juga yang gelisah tersulut amarah. Peristiwa World Trade Center, 9/11 yang merenggut 3000 nyawa misalnya, atau anak-anak Palestina yang menyerang sedadu Israel, penanda perlawanan kepada pihak dominan. Perlawanan itu dianggap mereka jihad. Namun, pihak lain menudingnya sebagai the hatred of liberty.
Saat yang sama. Kaum dominan di Myanmar membunuh dan mengusir suku Rohingnya. Israel membunuh anak-anak Palestina dan Amerika melumpuhkan Afghanistan, Libya dan Irak, yang meregang ribuan nyawa. Kekerasan itu dilakukan atas dalih menyelamatkan demokrasi dari kaum tiran, sarang teroris atau demi kedaulatan. Di negara-negara yang nyaris fail state, konflik politik dan etno-religious, demikian mengemuka. Akibatnya banyak kurban jiwa dan harta. Lihatlah konflik di Syria, Libanon, Yaman, Irak atau di India antara Hindu dan Muslim, tiap kelompok saling menyulut kebencian.
Sementara. Kehadiran media digital di bawah payung musim pasca-kebenaran, makin langka memupuk saling pengertian antarsesama. Media digital yang interaktif, setara, dan cepat, telah disandra para entrepreneur politik yang menebar kekerasan simbolik demi kekuasaan. Media digital telah menjadi sarang hate speech, permusuhan kepada lian (others) berdasarkan ras, suku, agama dan lawan politik. Hoax, fake news, propaganda hitam, demikian melimpah di jagat digital dewasa ini. Pantas bila era sekarang disebut the age of hatred.
Ideologi Kebencian
Kebencain itu bagian dari ideologi dan strategi politik. Yanay (2013) dalam The Ideology of Hatred, membagi dua kebencian. Pertama, kebencian sebagai respons akibat ujaran kebencian pihak lain. Kedua, kebencian sebagai struktur ideologi yang dibangun sistematis untuk menegasikan pihak lain berdasarkan sentimen suku, ras, agama, aliran politik. Ideologi ini memilah manusia ke dalam dua kelompok. “Kami” vs “mereka”, atau “kawan” vs “lawan”. “Mereka”, atau lian (others/otherness) adalah “lawan” yang menyimpang dan sesat. Karena sesat, maka keberadaan lian akan mengancam kelompok dominan.
Teori stigma (Goffman, 1963) sering dipakai untuk menegasi kelompok sesat. Teori ini memisahkan antara norma sosial yang sudah diterima publik dengan pihak yang dianggap sesat. Pihak yang sesat diberi label, stereotif, pemisahan kognitif, reaksi emosional, hilangnya status, dan diskriminasi yang buruk”, kata Collins (2004). Islamphobia, xenophobia, sontoloyo, negro, atau takfiri misalnya, adalah label yang menyeret ke imajinasi stereotif perilaku buruk. Karena itu, kelompok lian harus dihinakan, dikriminalisasi dan diekslusi secara sosial, politik bahkan militer. Sedang Kelompok “kami” harus diperkuat, dibela dan dimuliakan.
Strategi pesan dirancang via hate spin, semacam propaganda tipudaya. Menurut George (2016), hate spin adalah strategi politik pabrikasi kebencian yang dirancang untuk menyerang kelompok lain atau mencari pengikut lewat identitas berdasarkan ras, suku, agama atau kepentingan politik. Hate spin (pelintiran kebencian) merupakan akibat ujaran kebencian yang ditebarkan kepada lawan (offensive-giving) dan dibalas lawan (offensive-taking). Lahirlah lingkaran kebencian yang membuka konflik sosial, bahkan genosida. Ideologi hate spin dirancang untuk mengejar kekuasaan, berpijak pada asumsi, berpikir hitam-putih, mengeksploitasi emosi, miskin argumentasi, dan mengutuk lawan.
Strategi komunikasi dirancang lewat pesan agresif-destruktif. Ciri pesan agresif kata Infante (1987), menyerang latar belakang, kompetensi dan karakter pribadi atau kelompok. Obama Islam Afrika atau Jokowi dituduh PKI. Ahmadiah agama ciptaan Inggris. Serangan kompetensi pernah disampaikan Bush saat bersaing dengan Clinton-Gore: “Anjingku jauh lebih pintar soal kebijakan luar negeri daripada mereka”. Isi pesan kebencian mengandung permusuhan, sumpah serapah, kutukan, bahan tertawaan, hingga melukai fisik. Pesan agresif juga, menebar sikap intoleran yang menutup perbedaan. Watak komunikasi bersifat: ofensif dan defensif dengan memakai dalih segala cara.
Ideologi kebencian akan efektif bila didukung pemimpin tipe “pesilat lidah”(demogog) yang flamboyan dan pendukungnya fanatik. Ciri pesilat lidah itu artikulatif-provokatif, tegas, pandai memainkan emosi, otoriter, dan berjuang atas nama rakyat atau “umat”. Sedang ciri pendukung fanatik, kata Marimaa, (2011) pertama, favoritisme kepada pemimpinya sebagai “tokoh agung”. Kedua, sikap intoleran dan agresif melawan pihak yang tidak sejalan. Ketiga, dogmatis, sangat yakin akan tawaran ideologinya sebagai jalan paling benar. Keempat, setiap penyimpangan harus diluruskan lewat ucapan dan tindakan kekerasan. Kelima, siap mengurbankan jiwa untuk keyakinannya.
Melawan Kebencian
Ruang publik harus dibebaskan dari kebenciankarena beberapa alasan. Pertama, ideologi kebencian mengingkari keberagaman agama, budaya, ras dan etnik yang ada di masyarakat. Kedua, ideologi kebencian menyuburkan intoleransi yang menimbulkan konflik sosial-politik dalam batang tubuh bangsa. Ketiga, suburnya prasangka buruk terhadap lian akan membuka kotak pandora kekerasan. Keempat, suburnya otoritarianisme dan pemimpin tiran yang memutlakkan pahamnya sendiri. Kelima, ideologi kebencian merupakan distorsi komunikasi sistematis yang sarat kebohongan.
Ruang publik digital harus dialihkan kepada sikap rasional yang menghormati fakta dan kebenaran obyektif, bukan luapan prasangka. Kedua, lian harus diterima sebagai fakta sosial agar berkoeksistensi damai lewat “kebersamaan” (togatherness). Ketiga, wacana harus disertai sikap empati untuk bisa saling memahami lewat dialog. Keempat, netizen harus berusaha mencari konsensus tanpa menafikan perbedaan. Perbedaan bisa dilihat sebagai pilihan perspektif bukan pertentangan antagonistik.
Kelompok yang mampu melawan ideologi kebencian adalah komunitas kampus, media massa dan tokoh masyarakat. Sikap rasional-kritis, sikap berjarak dari kelompok dan kekuasaan, serta menjauhkan prasangka, akan menjadi counterpublic di medan digital. Mereka bukan sekedar harus meriset ujaran dan plintiran kebencian, melainkan harus juga melakukan advokasi lewat web, forum, dan media lain untuk melawannya. Fungsi mereka sebagai clearing house menepis kebohongan dan meredam kebencian.
Maka akan lahir wacana digital yang rasional-obyektif, kritis, dialogis dan berimbang. Tampil lah sosok ruang publik digital yang mencerahkan, merajut harmoni dalam perbedaan. Di luar itu, instrumen hukum harus mampu mengadili praktik kebencian secara adil. Dan hadirnya pemimpin tipe negarawan yang mewakili semua golongan, sangat dibutuhkan demi memperkokoh harmoni kultural.***