Oleh Atie Rachmiatie | Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jawa Barat, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung
MEMBANGUN komunikasi yang beradab memang tidak mudah. Dengan komunikasi kita dapat membentuk saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan dan melestarikan peradaban. Tetapi dengan komunikasi juga kita menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan dan menghambat pemikiran.
Untuk membangun komunikasi kebajikan, demi terciptanya suasana kehidupan yang harmonis di masyarakat, perlu dikembangkan bentuk-bentuk komunikasi yang beradab. Dengan indikatornya diantaranya, komunikator menganggap bahwa orang lain punya harga diri, cita-cita, berpikir dan bermartabat. Komunikator berempati dengan berusaha memahami realitas dari perspektif lawan bicara.
Implikasinya, kita tidak membodohi khalayak, menghindari emosionalitas, tidak menyembunyikan “agenda pribadi/kelompok”, tidak menggunakan data yang tidak lengkap, tidak akurat, apalagi bohong. Indikator lain, sejalan dengan prinsip etika komunikasi, komunikator harus “kaffah”, punya kemampuan yang mumpuni. Jika merasa punya kemampuan, ia harus maju. Tapi kalau tidak punya, maka ia harus tahu diri.
Berkomunikasi juga harus dilandasi oleh kecintaan dan kasih sayang, karena cinta ialah sumber energi untuk kebajikan. Prinsip komunikasi, di dalam Islam, diantaranya menunjukkan empat indikator, yaitu: 1) Qaul Karim, sebagai tingkatan tertinggi yang dilakukan oleh seseorang, seperti komunikasi anak dengan kedua orangtuanya, atau perkataan yang menjadikan pihak lain tetap dalam kemuliaan.
2) Qaul Ma’ruf, kebaikan komunikasi yang bersifat kontekstual dan kondisional. 3) Qaul Maisur, adalah pesan yang baik, lembut dan menyejukkan dengan penyajian yang baik pula. 4) Qaul Layyin, mengandung anjuran, ajakan, keteladanan, dan meyakinkan akan kebenaran dengan rasional.
Dalam kaitan fenomena komunikasi, yang tengah terjadi di masyarakat tersebut, Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jabar diharapkan bisa hadir, memberi sumbangsih dalam membangun komunikasi untuk kebajikan, dan/atau membangun kebajikan dalam berkomunikasi, pada berbagai konteks kehidupan. Kita, misalnya, melihat masih adanya perbedaan antara kebajikan normatif (teoritik) dengan kenyataan empirik.
Di perguruan tinggi diajarkan berbagai kebajikan komunikasi yang terkait dengan norma-norma budaya, agama dan peraturan perundangan. Namun pada tataran empirik, seringkali dipertunjukkan sebaliknya. Persoalan tersebut di antaranya mendampak pada realitas komunikasi sosial kita dewasa ini, yang bisa dikategorikan bahwa kita sedang mengalami kemunduran komunikasi sosial. Kedahsyatan media sosial menunjukkan people power yang hebat untuk mempengaruhi suatu keputusan; sekaligus juga sebagai cermin realita masyarakat berkomunikasi, yang masih rendah nilai kebajikannya.
Pada sisi ini, keberadaan organisasi profesi diharap bisa menjembatani gap antara dunia idealis dengan realitas “permasalahan” di tataran empirik, melalui berbagai program dan kegiatan informasi, edukasi dan komunikasi. Selain itu, organisasi profesi ini membuka aktivasi tali silaturahmi, sehingga saling memperkuat diantara akademisi dan para praktisi/professional komunikasi.
Memakai gaya ungkapan Gubernur Jabar, ISKI Jabar dapat membangun kolaborasi antar-“Penta helix”, lima pilar kekuatan di masyarakat, yaitu: Pemerintahan – Akademisi – Industri – Media – Komunitas. Keanggotaan organisasi profesi bisa dikatakan merepresentasikan kelima unsur (Penta Helix) tersebut, yang memang sangat cair karena komunikasi bersifat ubiquitous (ada dimana saja).
Dalam kaitan pencapaiannya, kelembagaan organisasi profesi seperti ISKI Jabar dirancang untuk mengembangkan strategi sebagai berikut.
Pertama, membangun kesadaran bersama, khususnya insan komunikasi melalui peningkatan kompetensi, kredibilitas dan integritas dalam berbagai profesi yang diembannya. Dengan memetakan profil profesi komunikasi di berbagai lini dan dimensi akan nampak peta kekuatan, sekaligus kelemahan, para insan komunikasi saat ini yang tersebar di Jawa barat. Sehingga bisa berkontribusi lebih banyak lagi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat Jawa Barat.
Kedua, meningkatkan intensitas silaturahmi, kerjasama atau kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan dan siap untuk memberikan pelayanan komunikasi dan informasi terbaik berbasiskan iptek dan inovasi bagi masyarakat.
Ketiga, memberikan keyakinan dan kesadaran pada berbagai pihak, bahwa komunikasi sebagai salah satu solusi untuk menyelesaikan permasalahan di berbagai konteks kehidupan, seperti politik, agama, bisnis, dan lainnya, melalui dialog, negosiasi yang berprinsip kebajikan.
Dengan ancangan program kerja seperti itu, diharapkan keberadaan organisasi profesi “komunikasi” dapat memberi sentuhan, yang cukup signifikan, pada gejala minimnya kebajikan berkomunikasi di berbagai realitas persoalan kemasyarakatan. Setiap ucapan atau perkataan para pembicara publik, memiliki referensi kebajikan yang mendalam, terutama di ruang sosial kemasyarakatan, atau pun di dunia media sosial.***