Oleh Ahmad Nada Kusnendar | Sekjen ISKI Jabar, Dosen dan Praktisi Media
Sebuah dialog intens dan kritik tajam yang tetap etis – humanis – humoris“
KARIKATUR atau kartun tidaklah sketsa yang dijelek-jelekkan dan bukan pula sekedar coretan yang dilebih-lebihkan. Karikatur bukanlah pula hanya sketsa yang karikatural, tetapi teks yang ingin menyampaikan hal yang aktual.
Menurut Prof. Imam Buchori Zainuddin, salah seorang dosen FSRD ITB, kartun adalah gambar, yang melukiskan adegan tentang perilaku manusia dengan berbagai kiprahnya dalam kehidupan sosial, baik diungkapkan secara simbol atau representasional dengan cara-cara humor, atau cara-cara yang satiris.
Bahkan Erich Kaestner, seorang sastrawan Jerman termasyur, menilai kartun memiliki daya ekspresi yang luar biasa. Sebagai sarana non-aksara, Kaestner menganggap kartun memiliki unsur cerpen.
Kartun adalah pula sebuah bentuk wacana atau berita pikiran tentang “sesuatu”. Dengan simbol-simbol yang bercorak sinekdote – memperlihatkan sebagian untuk mengatakan keseluruhan – dan tentu saja, karikatural berita – pikiran yang disampaikan tak lain daripada sebuah ajakan berdialog yang intens dengan kekuasaan, masyarakat umum atau dengan siapa saja.
Simbol-simbol karikatural yang dengan kreatif menonjolkan unsur-unsur yang lucu dan di luar kebiasaan itu bukan saja memberikan kebebasan bagi sang kartunis untuk menyampaikan berita – pikirannya tetapi juga secara cerdik mengalihkan daya tusuk dari dialog yang intens tersebut. Dengan begini, maka yang getir dan pahit dapat disampaikan sebagai keanehan yang lucu saja.
Jadi kartun haruslah dipahami sebagai media yang dipakai oleh kartunis untuk menangkap dan menafsirkan berbagai keprihatinan yang hidup dalam masyarakat.
Menurut sejarah, “Cartoon” lahir sejak abad pertengahan seiring dengan semangat humanisme yang meletakkan manusia sebagai objek dan subjek untuk mengenal berbagai hakekat kehidupan.
Karikatur sendiri diketahui berasal dari bahasa Itali “caricare“, yang berarti memuat atau menambah muatan secara berlebihan.
Dengan kata lain, karikatur adalah reformasi lebih atas objek yang terkenal dengan cara mempercantik dari ciri yang paling menonjol atas objek tersebut. Dengan demikian, karikatur yang baik sudah bisa dipastikan mempunyai kadar humor, estetika dan yang paling penting sarat nilai kritik.
Dan kritik karikatur sebenarnya hanya usaha penyampaikan masalah aktual ke permukaan, sehingga muncul dialog antara yang dikritik dan yang mengkritik, serta dialog antara masyarakat itu sendiri, dengan harapan akan adanya perubahan.
Pahit tapi positif
Dewasa ini kartun dan karikatur telah merambah jauh, selain untuk kritik sosial, juga untuk media pendidikan anak dan berbagai program sosialisasi, untuk maksud promosi dan komunikasi.
Tak pelak lagi, kartun dan karikatur pun akhirnya memasuki persoalan susila atau tidak susila yang merupakan sukma utama dari kesenian pada umumnya. Melalui kartun kita dapat menyampaikan kritik yang langsung sampai pada sasaran, tapi tidak menyinggung objeknya (manusianya), yang seringkali malah tertawa.
Seorang karikaturis ataupun kartunis, tidak perlu berbenturan langsung dengan suatu kekuasaan. Tetapi bagaimana kecerdikan mereka untuk mengakali suatu kekuasaan takluk oleh sebuah kerendahan hati. Atau kata Jaya Suprana “Positioning“, bagaimana seni menempatkan diri. Kendatipun dengan nada kritik yang benar-benar pahit, namun secara keseluruhan karyanya tetap positif. Kritik dan ejekan yang dilemparkan dilandasi oleh sikap optimis dan hasrat reformis.
Fenomena ini akan berlanjut terus, lebih-lebih dalam alam keterbukaan politik dan globalisasi informasi ini. Disini, para kartunis dan karikaturis dituntut memiliki kreativitas, kredibilitas (diantaranya kemampuan teknik drawing) dan cakrawala berpikir yang luas. Dan tetap setia mempertahankan keunikannya sebagai humanis – humoris.
Kartun dalam pers Indonesia
Di Indonesia, kartun muncul sekitar tahun 1930-an. Dipelopori oleh Surono, Karyono, dan Norman Camil. Dekade 50-an, Kartun karya Abdulrachim (Al) dan Muhammad Budino (Mobo) muncul di Majalah Terang Bulan. Pada tahun itu pula, Indri Sudono dan Sunarso muncul di Penyebar Semangat.
Booming pertama kartun terjadi di medio 60-an, saat nama-nama seperti Arwah Setiawan, Pramono, Jhonny Hidayat, GM Sudarta, T Sutanto menghiasai berbagai media. Booming kedua terjadi di penghujung dekade 80-an, saat para kartunis tumbuh bak jamur di musim hujan. Wadah para kartunis, menyebar di berbagai kota. Sebut saja diantaranya, SECAC (Semarang Cartoon Club), WAK SEMAR (Wadah Kartunis Semarang), PAKYO (Persatuan Kartunis Yogya), PAKARSO (Persatuan Kartunis Solo), KOKKANG (Kelompok Kartunis Kaliwungu), dan KARUNG (Kerabat Kartunis Bandung).
Bahkan, terbentuk sebuah wadah besar para kartunis Indonesia, yang bernama PAKARTI (Persatuan Kartunis Indonesia).
Wadah-wadah itu, berupaya mengembangkan sekaligus menghilangkan citra bahwa karikatur dan kartun sebagai bentuk ungkapan senirupa, seringkali hanya dianggap sebagai aktivitas marginal dari seniman grafis, karena karyanya banyak yang tidak bernilai secara ekonomis.
Belum lagi, kini para pengelola pers tidak bisa menyangkal lagi dan sangat mengerti arti penting kehadiran kartun dalam media massa. Kartun telah menyatu dengan pers. Mengingat bahwa kartun dapat sebagai penyejuk bagi pembaca setelah membaca artikel-artikel berat dengan sederetan huruf yang cukup melelahkan mata dan pikiran.
Ia dibutuhkan sebagai penangkal kepenatan, untuk rekreasi dan hiburan ringan. Malah, jika dipandang dari sudut lain, penyampaian berita disertai penyajian gambar akan mudah diingat, apa lagi dalam bentuk kartun dan karikatur. Dapat dikatakan kartun dan karikatur berkembang bersama pers.
Keberadaan kartun dan karikatur dalam pers kini semakin mantap. Orang kadung jatuh cinta terhadapnya. Kehadirannya dalam penerbitan pers sudah menjadi barang yang selalu dinanti. Hampir setiap penerbitan menyediakan rubrik ini. Karena disadari oleh para penerbit, rubrik tersebut punya daya jual terhadap produk dagangannya itu.
Terakhir, sebagai kritik sosial, sudah seharusnya kartun dan karikatur dalam pers di Indonesia selalu mengingatkan hal-hal yang mungkin terlupakan atau terabaikan dalam kegelisahan terhadap perubahan politik negaranya. Kartunis dan karikaturis yang membawa pesan dan kritik itu, diharapkan dapat berperan dengan hati nuraninya. Bukannya malah memperkeruh suasana.***
*Tulisan ini pernah dimuat di HU Pikiran Rakyat, Sabtu 9 Juli 2005 dengan judul “Kartun dan Karikatur: Homo Humanis dalam Pers Kita”