Oleh Hadi Purnama | Pengurus ISKI Jawa Barat

TAHUN 2019 baru saja berlalu. Tahun yang ditandai dengan begitu banyak sengkarut informasi palsu dan kabar bohong – atau hoaks – di jagat maya kita. Persebaran hoaks tersebut tidak lepas pula kontestasi pemilihan presiden, sehingga menjadikan tahun 2019  sebagai tahun politik yang ingar-bingar, juga makin membelah publik negeri ini ke dalam dua kutub diametral.

Terjadinya segregasi sosial di tengah masyarakat, serta makin menguatnya pengubuan berdasarkan afiliasi politik, salah satunya disebabkan oleh kian maraknya persebaranluasan hoaks melalui media sosial. Masih banyak anggota masyarakat, baik pengguna aktif internet maupun bukan, terpengaruh oleh paparan hoaks yang beredar di media online. Terlebih dengan makin masifnya jumlah hoaks di media sosial selama empat tahun terakhir.

Seturut data yang dikeluarkan Kementerian Kominfo yang menggunakan mesin  Automatic Identification System (AIS) menunjukkan jumlah kabar bohong, berita palsu dan ujaran kebencian.   Sepanjang periode Agustus 2018 sampai November 2019, tim AIS Kemkominfo yang  memiliki personil 100 orang berhasil mengidentifikasi 3.901 hoaks.

Sementara data yang dikeluarkan oleh Jabar Sapu Bersih Hoaks (Jabar Saber Hoaks atau JSH), dengan personil pengecek fakta (fact-cheker) yang lebih terbatas telah mendeteksi informasi hoaks selama periode Desember 2018 hingga Desember 2019 sekira 5.880!

Sedangkan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) merilis data terkait hoaks pada 2019 dengan angka rerata 100 hoaks setiap bulannya.

Dampak Hoaks

Terlepas dari perbedaan angka yang dihimpun dan dipubliksasikan oleh Kemenkominfo, Jabar Saber Hoaks, dan Mafindo, sesungguhnya belum menampilkan sebuah gambaran yang utuh tentang peredaran hoaks. Jumlah persebarluasan hoaks dimana pun, termasuk di Indonesia, harus dilihat sebagai fenomena gunung es. Mengingat produksi dan persebarluasannya di media sosial tidak sepenuhnya diadukan atau terdeteksi. Terlebih produksi dan persebarluasannya hoaks di platform pengirim pesan instan atau pengolah pesan cepat (instant messenger) yang juga dijuluki dark social.

Tetapi yang jelas dampak yang ditimbulkan oleh hoaks patut diwaspadai dan diantisipasi dengan seksama. Diwaspadai, mengingat dampak hoaks dapat memicu ketakutan (misalnya hoaks tentang penculikan anak), merusak reputasi individu hingga korporasi, membuat fakta menjadi sulit dipercaya (berdampak pada runtuhnya kredibilitas media pemberitaan arus utama), hingga memicu perpecahan.

Dampak yang terakhir dapat dilihat pada masyarakat di AS, yang terbelah gegara Pilpres di tahun 2016 silam. Mengutip hasil riset Morgan Marietta dan David C. Barker selama hampir lima tahun – yang dijadikan buku bertajuk “One Nation, Two Realities” (2019) – salah satu factor yang menjadikan warga di AS mengalami polarisasi dan segregasi sosial disebabkan oleh beredarnya hoaks melalui media sosial. Bukan hanya hoaks yang diproduksi oleh para buzzer dari masing-masing kubu partai yang sedang  bertarung (Demokrat vs Republik), juga oleh para elit politiknya. Kandidat presiden dari Republik selama berlangsungnya kampanye kerap nge-twitt konten yang dapat dikategorikan sebagai hoaks. Baik informasi palsu untuk mendiskreditkan lawan politiknya, juga informasi yang terkonfirmasi sebagai ujaran kebencian (hate-speech) berdasarkan sentimen agama, ras, maupun etnis.

Hoaks yang berseliweran selama pilpres di AS juga terindikasi bukan saja berasal dari kedua kubu. Menurut penyelidikan yang dilakukan oleh pihak berwenang di AS (salah satunya FBI) mencurigai produksi dan penyebarluasan konten hoaks berasal dan dilakukan oleh pihak asing (baca:Rusia!), yang cenderung menguntungkan salah satu kandidat presiden yang sedang bertarung.

Mitigasi Hoaks

Merebaknya hoaks  (misinformasi, disinformai, dan malinformasi) di media sosial saat ini  – diibaratkan bencana gelombang tsunami informasi palsu dan bohong – adalah bencana sosial yang terbukti telah menimbulkan kerusakan dan kerugian. Daya rusak hoaks juga sangat besar, karena mampu merusak suatu tatanan soaial dalam waktu singkat. Kerugian yang ditimbulkannya bisa berupa materi dan nonmateri. Segregasi sosial, memiliki daya rusak tinggi bagi tatanan masyarakat. Bencana sosial yang ditimbulkan lewat jentikan jari di gawai pintar! 

Mustahil bila media sosial bebas sama sekali dari rambahan hoaks, mengingat begitu beragamnya motif pembuatan dan penyebarluasan hoaks di dunia maya. Ada yang bermotifkan politik, ekonomi,  Namun, sebagaimana penanganan bencana, maka yang dapat dilakukan adalah melalui mitigasi hoaks yang bertujuan untuk mengurangi risiko kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan hoaks. Hoaks jika tidak dikendalikan dapat menimbulkan kerugian ekonomi, gangguan rasa aman, hingga korban jiwa. Banyak korban jiwa jatuh dipicu oleh hoaks dengan membangun sentimen SARA, begitu pun kerugian material karena disebabkan informasi yang dipelintir.

Karenanya, mitigasi bertujuan meminimakan berbagai risiko tersebut, selain itu menjadi pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan (khususnya pemerintah) dalam membuat perencanaan penanganan hoaks, membangun kesadaran public dalam menghadapi kasus hoaks, serta menciptakan rasa aman dan nyaman bagi masayarakat dari ancaman hoaks.

 Dalam mitigasi terdapat dua pendekatan, yaitu mitigasi yang bersifat struktural maupun nonstruktural. Mitigasi struktural dilakukan melalui cara membangun berbagai prasarana maupun teknlogi yang tujuannnya mencegah “banjir hoaks” melalui early warning system untuk mendeteksi dan memrediksi hoaks. Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) berhasil membangun aplikasi yang dapat diunduh di Appstore bernama Hoax Buster Tool (HBT) yang mampu mendeteksi sekaligus kanal untuk melaporkan hoaks di dunia maya. Atau kanal pelaporan hoaks melalui aplikasi berbasis Whatsapp bernama Kalimasada.

Langkah kedua melalui mitigasi nonstruktural yang bertujuan mengurangi dampak hoaks dengan membuat kebijakan dan peraturan yang mendorong terciptanya eksosistem dunia maya yang bebas hoaks. Selain UU ITE yang selama ini sering digunakan sebagai instrumen hukum untuk mengatasi hoaks, dengan segala kekurangannya. Maka, sudah saatnya dibuat produk legislasi yang bersifat lex specialis menangani kasus hoaks dan ujaran kebencian. Tidak ada salahnya sebagai perbandingan menengok Jerman yang telah mengesahkan undang-undang yang dinamakan Network Enforcement Act (NetzDG) pada 2018 lalu. Keberadaan UU tersebut untuk mengatur peredaran hoaks melalui media sosial, yang memuat memuat kewajiban bagi perusahaan media sosial untuk menghapus beragam unggahan yang bernada menyinggung atau ujaran kebencian.

Pada akhirnya melihat bahaya hoaks yang nyata, urgensi mitigasi hoaks memang sudah menjadi kebutuhan sangat mendesak. Untuk itu diperlukan pelibatan seluruh elemen masyarakat agar keberadaan mitigasi hoaks mendapat dukungan semua pihak. Semoga di tahun 2020 prevalensi kasus hoaks akan semakin menurun seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang bahaya hoaks.***

_________________________________

Tulisan pernah dimuat di HU Pikiran Rakyat 2020

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *