Oleh Hadi Purnama | Dosen Prodi Digital Public Relation Tel-U dan Pengurus ISKI Jawa Barat 

MENARIK untuk menyimak laporan hasil riset yang dipublikasikan akhir bulan September lalu oleh McKinsey Global Institute bertajuk “Otomasi dan Masa Depan Pekerjaan di Indonesia: Pekerjaan yang Hilang, Muncul dan Berubah.” Laporan riset itu memaparkan dua skenario tentang masa depan Indonesia seiring dengan kian berimbasnya otomasi pada lanskap pekerjaan, yakni skenario suram sekaligus cerah.

Skenario Masa Depan Pekerjaan

Drs. Hadi Purnama, M.Si. (Dok. Pribadi).*

Skenario pertama, memrediksi Indonesia di tahun 2030 telah memasuki era otomasi 16 persen aktivitas pekerjaan yang berimbas pada hilangnya pekerjaan bagi sekira 23 juta pekerja. Ini terjadi di saat Indonesia -masih menurut prediksi McKinsey Global Institute –dengan tingkat pertumbuhan ekonominya yang paling stabil di dunia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia. Bandingkan angka ini dengan jumlah pengangguran di tahun 2019  (data BPS) yang hampir menyentuh angka 7 juta orang. Maka, membengkaknya jumlah pekerja yang akan kehilangan pekerjaannya di tahun 2030 sebagai dampak otomasi di berbagai sektor akan menjadi ancaman serius bagi stabilitas politik, ekonomi dan sosial.

Namun, kajian firma konsultasi manajemen global ini juga membawa angin segar bagi kita. Di satu sisi otomasi menjadi ancaman bagi para pekerja, tetapi di sisi lain justru membuka peluang pekerjaan baru yang mungkin belum terbayangkan pada saat ini. Riset McKinsey Global Institute memrediksi, hingga 2030 era otomasi bakal membuka sekira 27 juta hingga 46 juta lapangan kerja baru. Uniknya, 10 juta dari lapangan kerja tersebut merupakan jenis pekerjaan baru yang belum pernah ada sebelumnya. Dari sekian banyak lapangan pekerjaan yang akan memperoleh manfaat dari meningkatnya kebutuhan tenaga kerja diantaranya adalah pada layanan kesehatan, konstruksi, manufaktur dan ritel.

Mungkinkah Indonesia akan mendapatkan berkah dari dampak era otomasi tadi, seiring dengan bonus demografi yang dimilikinya? Keraguan ini  mungkin ada dalam benak banyak pihak, mengingat skenario suram sebelumnya justru lebih mencemaskan. Untuk menjawab keraguan tersebut serta untuk meraih manfaat di era otomasi – menurut McKinsey Global Institute – tenaga kerja Indonesia perlu mempelajari sejumlah ketrampilan baru. Mengingat ada sejumlah kebutuhan atas pekerjaan yang tidak dapat dengan mudah dikerjakan oleh mesin akan meningkat yang meliputi:(1) kegiatan fisik yang tidak dapat diprediksi;(2) interaksi dengan pemangku kepentingan;(3) mengelola dan mengembangkan karyawan.

Menurut President Director McKinsey Indonesia, Philia Wibowo, di era otomasi sebagai salah satu ciri utama revolusi industri 4.0, ada empat keterampilan yang akan semakin dibutuhkan, yaitu kebutuhan akan spesialisasi, keterampilan untuk mengelola pemangku kepentingan, kemampuan dalam mengembangkan SDM, dan kemampuan terkait problem solving (CNBC Indonesia, 2019).

Dari paparan tersebut kita bisa memahami bila keterampilan-keterampilan baru yang dibutuhkan di era otomasi bukan hanya keterampilan teknologi, namun juga keterampilan sosial, emosional dan keterampilan kognitif yang lebih tinggi, seperti kreativitas dan kemampuan pemecahan masalah yang rumit.

Daya Ungkit Pendidikan Tinggi

Bercermin dari perubahan seperti telah dipaparkan tadi, bagaimana dengan profesi komunikasi di masa depan? Meski pun bukan pihak satu-satunya, perguruan tinggi memiliki tanggung jawab dan tugas berat sebagai “kawah candradimuka” yang akan menyiapkan sumber daya manusia mumpuni di bidang komunikasi. Perguruan tinggi dipandang memiliki peran yang sangat strategis menghadapi tantangan  nyata di era disrupsi saat ini dan masa depan.

Terlebih bila sekali lagi merujuk pada riset McKinsey Global Institute, secara persentase, peluang terbesar akan diperoleh mereka yang memiliki pendidikan tinggi atau pendidikan lanjut. Pangsa pekerjaan yang meningkat di Indonesia akan memerlukan gelar sarjana atau yang lebih tinggi. Masyarakat Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan S2 mungkin akan mengalami perubahan terbesar dalam kesempatan kerja di tahun 2030.

Hal ini memunculkan tantangan penting bagi sektor pendidikan ilmu komunikasi di Indonesia, dari semua jenjang, agar senantiasa relevan di tengah perubahan zaman. .

Semua pemangku kepentingan – selain perguruan tinggi – termasuk pembuat kebijakan, industri, pelaku bisnis, serta asosiasi profesi komunikasi harus melakukan persiapan untuk menghadapi perubahan substansial dalam dunia kerja di masa mendatang. Sekarang, setiap perusahaan harus mulai mempersiapkan rencana dan transisi ke masa depan pekerjaan melalui program pembelajaran jangka panjang, baik bagi orang-orang yang terdampak saat ini maupun mereka yang mungkin baru akan terdampak di masa depan

Salah satu tugas asosiasi profesi – termasuk Ikatan Sarjana Komunikasi (ISKI) – adalah mampu memetakan profil keprofesiannya secara komprehensif. Mengingat setiap profesi memiliki karakter umum dan spesifik yang mencerminkan core competency sebagai ciri pembedanya. Sejarah pembentukan ISKI di tahun 1983 selain untuk mewujudkan visi organisasi yang profesional dan bermaslahat, tidak kalah pentinynya menjadi sebuah wadah pengembangan profesi juga tidak lepas dari upaya membangun pride atas profesi komunikasi.

Kebanggan Profesi dan Daya Lenting

Kebanggaan atas profesi komunikasi harus dibangun mengingat kontribusi para akademisi dan praktisi komunikasi selama hampir seabad terakhir telah, yang telah mengubah wajah peradaban manusia. Kemajuan di bidang praktik komunikasi massa yang telah menciptakan beragam profesi di media massa cetak, elektronik, hingga media daring.

Belum lagi bila menilik profesi komunikasi yang cendeung berkembang. Merujuk pada identifikasi The Office of Career Service Manchester University, saat ini sedikitnya ada 160 profesi bagi lulusan perndidikan tinggi ilmu komunikasi. Profesi ini terentang dari bidang kehumasan (public relations), periklanan, komunikasi kesehatan, komunikasi politik, komunikasi  pembangunan, hingga profesi yang melibatkan media baru. Uniknya profesi komunikasi akan dan terus berkembang di era disrupsi ini.

Profesi komunikasi akan dan senantiasa dibutuhkan masyarakat, kini dan di masa dating. Komunikasi adalah persoalan utama dan krusial, baik dalam konteks antarpribadi, kelompok, publik, maupun komunikasi bermediakan komputer yang menjadi ciri saat ini dan mendatang. Kemampuan menyampaikan pesan komunikasi dalam beragam konteksnya, merupakan salah satu core competency lulusan komunikasi yang keterampilannya harus dijadikan luaran pembelajaran di lembaga pendidikan tinggi.

Terakhir, selain pembekalan skilk mumpuni, mereka yang akan bergelut pada profesi komunikasi harus memiliki daya lenting (resilience) tinggi, sehingga senantiasa adaptif terhadap setiap perubahan zaman, serta inovatif dalam menyikapi tantangan zaman. Apakagi, di masa depan – mengutip hasil kajian Lucian-Vasile Szabo yang dimuat di prosiding Social and Behavioral Sciences (2014). Menurut Szabo, setidaknya ada tujuh perubahan utama yang menyangkut interaksi manusia, yakni:(1) Peralatan elektronik terintegrasi akan digunakan;(2) Generalisasi dari interkoneksi;(3) Diversifikasi layanan dan aplikasi yang tersedia;(4) Pelebaran dan generalisasi bidang komputasi awan;(5) Komunikasi yang digeneralisasi, melalui pertukaran informasi dan generasi konten;(6) Komunikasi akan menjadi bidang yang luas, karena orang akan beralih dari pertukaran informasi ke pertukaran layanan dan produk;(7) Menulis ulang prinsip-prinsip etika. Semua komponen diambil dalam pandangan, dari interpersonal ke yang global, termasuk media massa dan media sosial.***

* Tulisan pernah dimuat di HU Pikiran Rakyat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *