Oleh Ahmad Nada Kusnendar | Sekjen ISKI Jabar, Dosen dan Praktisi Media
Saya yang kelahiran 70-an, mengalami bermain ucing sumput, bebentengan, boy-boy-an, galah asin, sorodot gaplok, gatrik, pelor bagong, dan permainan lainnya yang menguras keringat dan otak kita. Sejatinya, generasi ini belum banyak dijejali kecanggihan teknologi dan dunia hiburan membuai mata. Satu-satunya tontonan gratis hanya TVRI.
Meski tontonan layar kaca masih minim dan tidak ada pilihan, Saya begitu menikmati, sore menjelang malam setelah lelah bermain, duduk manis di depan tv menikmati film kartun Tom and Jerry, Scooby-Doo, Mickey Mouse, Donald Duck dan beberapa film animasi lainnya produksi studio Metro-Goldwyn-Mayer (MGM), Hanna-Barbera Productions atau Walt Disney.
Dan, fenomena film animasi 80-an bagi saya adalah Voltus V, Lima anak muda jagaon pembela bumi dengan menggunakan pesawat modern yang dapat digabungkan menjadi sebuah robot raksasa super hebat: Voltus!
Fenomemal karena ceritanya seru dan hebat pada zamannya, menghalau serangan alien bertanduk dari Planet Boazania yang ingin menjadikan bangsa lain sebagai budaknya. Selain itu, tidak semua anak mempunyai kesempatan yang sama untuk nonton film animasi ini.
Empat puluh seri Voltus V yang tergabung dalam 9 buah kaset VHS hanya dapat dinikmati memakai video player yang harganya cukup mahal dan hanya dimiliki orang yang mampu saja saat itu. Nebeng nonton jadi solusinya. Jadi, anak yang sudah nonton akan nyombong, apalagi jika bisa bercerita detail, pasti bakal digembrong babaturan-nya untuk ngadongeng.
Voltus V membuat saya dan teman-teman gembira, geram, marah, bahkan termehek-mehek, karena di episode terakhir ketika mengetahui musuh besar Voltus V yaitu Prince Heinell –yang ternyata bertanduk palsu, dan merupakan anak dari Professor Gou, pencipta robot Voltus– tidak lain adalah kakak dari Kenichi, Daijirou, dan Hiyoshi, 3 bersaudara awak Voltus V. Hiks!
Sebenarnya, saat saya duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar tahun 1983, ada Si Huma, serial kartun lokal pertama Indonesia buatan PPFN (Produksi Perusahaan Film Nasional), yang produksinya mendapat bantuan dari UNICEF (United Nations International Children’s Emergency Fund).
Namun, kualitasnya jauh dibawah film-film animasi buatan Amerika Serikat atau Jepang. Huma dan Windi (2 karakter film Si Huma) tidak bisa membuat saya terpesona seperti jurus tenkuken-nya Voltus V atau membuat tertawa ceria karena ulah kejar-kejaran Tom and Jerry. Sampai disinikah film animasi Indonesia?
Tentu Tidak. Dekade 2000-an, hadir dua film animasi tiga dimensi berdurasi panjang buatan anak negeri yakni “Homeland” dan “Janus Prajurit Terakhir” serta munculnya animator-animator handal mendunia yang terlibat animasi blockbuster Hollywood, diantaranya Ronny Gani (The Avengers, Star Wars: The Clone Wars), Rini Triyani Sugianto (The Adventure of Tintin, Iron Man 3, The Hunger Games: Catching Fire, The Avengers: Age of Ultron), Andre Surya (Iron Man, Star Trek, Terminator Salvation, Transformers: Revenge of the Fallen), Christiawan Lie (Transformer 3, GI Joe, Spiderman 4) dan Marsha Chikita Fawzi (Ipin Upin). Ironisnya, karya mereka justru diekspor ke negara lain atau mereka hanya sebagai “tukang” di negeri orang.
Namun kehadiran mereka tidak membuat film animasi nasional tumbuh. Padahal dari aspek bisnis, film animasi dunia sudah bisa menghasilkan pendapatan hingga 467 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 6.680 triliun dengan pangsa pasar sebesar 14,34% untuk berbagai jenis film dan estimasi pertumbuhan 10%-12% per tahunnya (Pikiran Rakyat, Jumat, 091015).
Para pegiat animasi sebenarnya tidak tinggal diam. Berbagai upaya telah dilakukan. Mulai dari membentuk komunitas-komunitas animator, seperti Anima (Asosiasi Animator Indonesia), Animator Forum, Ainaki (Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia), hingga membuat berbagai festival untuk membangkitkan film animasi nasional. Sebut saja, Festival Film Animasi Indonesia, Festival Animasi Nasional, Festival Animasi Indonesia, Hello; Fest, Baros International Animation Festival, dan lainnya. Namun perhelatan-perhelatan itu belum bisa juga membangkitkan animasi nasional sesuai harapan.
Kepala Badan Ekonomi Kreatif, Triawan Munaf, menyatakan, sebetulnya kualitas produk kreatif baik berupa animasi, film, maupun komik lokal sudah sangat bagus. ”Secara teknis sudah menguasai, tinggal ide cerita yang harus dikejar. Tidak bisa hanya memunculkan sisi kearifan lokal, tapi harus ada inovasi lebih agar menarik,” ucapnya. Dengan kemampuan para kreator muda, pemerintah harus bersiap membangun ekosistem agar industri kreatif tersebut bisa terbangun dan langgeng. Di antaranya, kemudahan permodalan, kemudahan produksi, dan kemudahan pemasaran. (Pikiran Rakyat, Jumat, 091015).
Saya pikir, para animator lebih memilih hengkang ke negeri sebrang karena disana kesempatan berkarya dan berkarier lebih terbuka dan karya mereka dihargai tinggi. Berbeda di dalam negeri, investor belum melihat animasi sebagai sektor yang menguntungkan. Padahal, Menurut data BPS, nilai ekspor subsektor film, video, fotografi, dan animasi pada 2010 mencapai Rp 595 miliar, pada 2013 nilainya sudah mencapai Rp 639 miliar. Selain itu, kontribusi pertumbuhan ekonomi kreatif terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yakni mencapai 7,8%.
Setelah upaya keras para praktisi dan komunitas animasi, kini tinggal kita tunggu komitmen pemerintah dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas animasi di Indonesia, sehingga “ekosistem” industri kreatif yang dijanjikan ini bisa terbangun dan langgeng. Siapa tahu, dalam waktu dekat, tercipta film animasi karya anak bangsa, yang bisa membuat saya termehek-mehek lagi, Ups! ***