Oleh Erwin Kustiman | Pengurus ISKI Jawa Barat, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi FISIP Unpas, dan Pengurus PWI Pusat
MENJELANG masa tugas yang berakhir tinggal beberapa bulan lagi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ternyata telah menyiap rancangan atau draf revisi Undang-Undang Penyiaran. Saat ini, draf tersebut sudah berada di Badan Legislatif dan telah selesai dibahasa di Komisi I.
Secara prosedural, Badan Legislasi (Baleg) DPR nanti akan melakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Jika disetujui, RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. Dalam proses tersebut, keterlibatan dan peran serta publik dalam membahas substansi draf menjadi keharusan.
Banyak kalangan menyoroti draf revisi yang justru bertolak belakang dengan prinsip kemerdekaan pers yang sudah seharusnya menjadi bagian dari praktik bermedia kita. Dewan Pers bersama beberapa organisasi profesi pers seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sudah menyampaikan pernyataan keras dan kritik tajam.
Setidaknya ada dua substansi yang menjadi sasaran kritik tersebut. Pertama, Pasal 50B ayat 2 huruf c yang isinya melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Inilah pasal yang dinilai sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers pascareformasi di Indonesia.
Kedua, tentang peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pers. Hal ini ada pada pasal 25 ayat 1 huruf q draf revisi yang menyatakan KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di Bidang Penyiaran.
Sangat bertentangan
Ini yang menjadi pertanyaan. Apakah para legislator lupa tentang adanya Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers. Apakah ini sebuah upaya untuk hanya “memagari” konten lembaga penyiaran hanya pada sisi informasi, hiburan, dan “pendidikan” semata? Kata “pendidikan” diberikan tanda kutip karena sebuah proses pendidikan yang benar akan sangat berkaitan dengan pengedepanan prinsip demokrasi dan kebebasan berbicara.
Padahal, kita semua tahu bahwa media penyiaran juga bisa menjadi sarana penyampaikan konten jurnalistik. Dan fungsi jurnalistik, selain sebagai media informasi, hiburan, dan pendidikan, adalah juga sarana kontrol sosial. Pada tiktik inilah letak strategis dari bentuk siaran jurnalisme investigative.
Adanya pelarangan penayangan jurnalisme investigasi nyata sangat bertentangan dengan pasal 2, pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) UU Pers No 40 tahun 1999. Pasal 2 UU Pers berbunyi: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Sedangkan pada pasal 4 ayat (1) jelas dikatakan: Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Selanjutnya di pasal 4 ayat (2) dijelaskan: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Sedangkan pada pasal 4 ayat (3) juga ditegaskan: Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan reformasi. Jelas, berdasarkan UU Pers, tidak boleh ada penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
Terkait peran KPI dalam menyelesaikan sengketa ihwal pers juga sangat bertolak belakang dengan UU Pers yang menegaskan Dewan Pers sebagai satu-satunya lembaga penyelesaian sengketa pers. Pasal 15 UU Pers mengenai fungsi-fungsi Dewan Pers menegaskan salah satunya itu adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Prinsip berdemokrasi
Dalam hemat penulis, proses penyusunan draf UU Penyiaran yang tiba-tiba saja mencuat di tengah indikasi kurangnya keterlibatan masyarakat sipil dalam pembahasan, kian mengimperatifkan kekhawatiran potensi kian melunturnya prinsip-prinsip berdemokrasi di ruang sosial kita. Setidaknya ada empat gejala melunturnya prinsip berdemokrasi terkait proses penyusunan serta sbustansi draf revisi UU Penyiaran yang minim partisipasi dan itu antara lain
Perama, karangan terhadap liputan investigasi merupakan bentuk pembatasan langsung terhadap kebebasan pers. Liputan investigasi sering kali merupakan alat penting bagi jurnalis untuk mengungkap fakta-fakta yang mungkin tidak disampaikan secara terbuka oleh pihak berwenang atau institusi. Larangan membatasi ruang gerak jurnalis untuk melakukan investigasi yang mendalam dan menyajikan informasi yang kritis.
Kedua, ketika jurnalis tidak dapat menyelidiki dan melaporkan masalah dengan bebas, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi yang mungkin penting bagi kepentingan publik. Ini berpotensi menciptakan lingkungan di mana pelanggaran atau penyalahgunaan kekuasaan dapat terjadi tanpa terdeteksi.
Ketiga, larangan liputan investigasi juga berpotensi mengurangi kontrol publik terhadap pemerintah dan lembaga-lembaga penting. Ketika media tidak dapat secara efektif menyelidiki dan melaporkan tindakan yang meragukan atau penyalahgunaan kekuasaan, risiko korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat meningkat tanpa pengawasan yang memadai.
Kemudian, RUU Penyiaran yang melarang liputan investigasi dapat menyebabkan ketidakseimbangan kekuasaan di masyarakat. Tanpa jurnalis yang dapat bertindak sebagai penjaga kebenaran dan akuntabilitas, pihak-pihak yang berkuasa dapat bertindak dengan lebih bebas tanpa risiko paparan publik atas tindakan mereka.
Saran
Kebebasan pers adalah aspek penting dari demokrasi yang sehat. Bukalah ruang dialog selebar-lebarnya antara pemerintah, media, dan masyarakat sipil untuk menemukan solusi yang memadai bagi regulasi media yang menghormati kebebasan berekspresi, akuntabilitas publik, dan prinsip-prinsip demokrasi.
Untuk menyelamatkan kredibilitas DPR menjelang masa akhir tugas, panitia kerja (Panja) revisi UU penyiaran DPR agar mencermati dengan seksama UU Pers sebelum merevisi dan mensahkan RUU tersebut. Membaca dengan teliti, menelaah, dan menangkap spirit demokrasi dan keterbukaan informasi sebagai bagian dari amanat reformasi.
Seandainya pasal-pasal dalam revisi ini tidak berubah dan kemudian lolos pada saat pengesahan, semakin nyatalah sinyalemen bahwa “gelombang arus balik” perlawanan kelompok antidemokrasi di tubuh elite negeri, bukan “omon-omon” belaka.***