BANDUNG – Pernyataan Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan, Arteria Dahlan yang dinilai menyenggol SARA tampaknya menjadi titik awal kebangkitan Sunda. Klaim Arteria Dahlan yang mendesak agar penggunaan Bahasa Sunda tidak diaplikasikan dalam kegiatan politik, bak melekatkan sebuah stigma pada kearifan lokal.
Sementara menurut Guru Besar Komunikasi Politik Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Pendidikan Indonesia, Karim Suryadi, Bahasa Indonesia sejatinya tak dapat menadahi kehidupan multikultural bangsa ini.
“Bahasa Indonesia teu bisa ngawadahan (tidak bisa menampung) kearifan lokal,” kata Karim Suryadi dalam sawala politik bertajuk “Mendorong Keterwakilan Sunda dalam Kepemimpinan Nasional (Nyinglar Sunda Kahieuman Bangkong)” pada Kamis, 27 Januari 2022 di Aula Pikiran Rakyat, Jl. Asia Afrika No.77 Kota Bandung.
Sawala terselenggara berkat kerja sama Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jawa Barat, Pikiran Rakyat, dan Majalah Sunda Mangle.
Padahal keberagaman yang dimaksud tentunya berkaitan erat dengan sistem politik yang dianut Indonesia, di mana publik tidak hanya diperkenankan melaksanakan hak-hak politis secara individu melainkan hak-hak budayanya.
“Tanpa inklusifitas dan legitimasi, demokrasi pincang,” ujar Karim Suryadi.
Oleh karena itu, mengingat Jawa Barat merupakan medan politik yang terbuka, dan semua diperlakukan sederajat tanpa memandang ras, suku, dan agama, Karim Suryadi merasa wajar bila reaksi orang Sunda saat sukunya diusik langsung ‘berisik’.
Tak hanya Karim, sesepuh Sunda, Uu Rukmana juga setuju dengan pernyataan tersebut.
“Eta urang Sunda kakarak ge digorowokan ku Arteria langsung ‘getih aing getih Sunda tanduk aing tanduk banteng‘ (itu orang Sunda, baru saja diteriaki oleh Arteria langsung ‘darah saya darah Sunda, tanduk saya tanduk banteng’,” kata Uu.
“Cing tingali keputusan jaksa (kita lihat saja keputusan jaksa),” ujar Uu Rukmana.
Melihat polemik rasisme yang disorot dewasa ini, muncul pertanyaan apakah orang Sunda perlu tokoh di tingkat nasional?
Perlukah Tokoh Sunda di Tingkat Nasional?
Berdasarkan data yang diperoleh dari KPU, daftar pemilih tetap (DPT) yang terbanyak di tahun 2018 terdapat di wilayah Jawa Barat. Namun nyatanya, hingga saat ini belum ada satu pun presiden yang berasal dari Sunda.
Dari sepuluh wakil presiden yang pernah menjabat pun, tercatat hanya satu orang yang memiliki darah Sunda. Hal ini menunjukkan bila keterwakilan Sunda di panggung politik nasional masih minim.
Melihat kondisi ini, Uu Rukmana lantang bersuara agar ke depannya masyarakat Sunda memiliki andil dalam kepemimpinan nasional.
“Masalah keterwakilan Sunda mah mutlak! kudu! niatkan keterwakilan Sunda, hayu urang babarengan, pokokna urang kudu kompak, kudu neugtreug (masalah keterwakilan Suna itu mutlak! niatkan keterwakilan Sunda, hayu kita bersama-sama, pokoknya kita harus kompak, harus bersikukuh) soal siapa yang bakal jadi, itu urusan Allah,” tuturnya.
Ia mengaris-bawahi bahwa Ki Sunda itu kudu kompak, kudu wani, kudu neugtreug!
Lebih lanjut, Uu berharap siapa pun yang menjadi wakil orang Sunda di kancah politik nasional, tak hanya melekatkan ‘status Sunda‘ di punggungnya, tapi lebih jauh lagi mampu melestarikan budaya-budaya melalui berbagai kegiatan politik.
“Kahayang sim kuring urang kudu boga tokoh teh ti kesepakatan sarerea, tetep dina adeug-adeug (harus memiliki nilai-nilai kebaikan dalam khazanah kultur Sunda),” ucap Uu.
Alasan Keterwakilan Orang Sunda dalam Kepemimpinan Nasional Masih Rendah
Sesepuh Sunda, Tjetje Padmadinata menjabarkan faktor apa yang sebenarnya membuat orang Sunda jarang ditemui di panggung politik nasional. Ia menilai karakter orang Sunda terlalu lembut untuk politik praktis. “Orang Sunda terlampau lembut untuk politik praktis,” ujarnya.
Senada dengan Tjetje, Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Dadang Rahmat Hidayat juga mengamini orang Sunda belum mampu bersaing dalam politik yang pragmatis.
Satu-satunya cara yang dapat mendorong tokoh Sunda eksis di panggung kepemimpinan nasional, menurutnya perlu ada strategi dan komunikasi di antara orang Sunda. “Sepertinya kita nggak punya strategi yang komunal,” tuturnya.
Menurut Dadang, jika kita mau melakukan kebaikan ini untuk Ki Sunda, harus ada strategi dan terus dikomunikasikan.
“Perlu dibuat strategi siapa orangnya yang diangkat sosok yang diangkat jadi pemimpin maupun kapan waktu yang tepat untuk mengangkat pemimpin dari Jawa Barat,” ujar Dadang.
Meskipun jumlah warga Jawa Barat banyak, keterwakilan warga Jawa Barat dalam jabatan kepemimpinan nasional masih rendah. Termasuk, belum ada orang Jawa Barat yang menjadi Presiden Indonesia.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Karim Suryadi mengatakan, untuk jabatan wakil presiden, baru satu orang Sunda yang menjabat posisi tersebut dari 10 wakil presiden yang pernah menjabat di Indonesia.
Pada posisi ketua MPR, juga baru satu orang yang merupakan orang Sunda dari 14 ketua MPR yang pernah menjabat di Indonesia.
Jumlah orang Sunda yang menjadi pahlawan nasional juga masih minim, baru 10 orang dari 159 pahlawan nasional.
Bahkan, upaya masyarakat Sunda untuk mengangkat Mochtar Kusumaatmadja menjadi pahlawan nasional menempuh perjalanan yang tidak mudah.
Menurut budayawan Sunda Uu Rukmana, orang Sunda yang menempati posisi kepemimpinan nasional, umumnya karena faktor upaya pribadi dalam membangun jaringan, bukan karena dorongan etnisnya.
Oleh karena itu, perlu ada kesamaan sikap dan persepsi antara orang Sunda untuk mendorong keterwakilan Sunda dalam kepemimpinan nasional. Kesamaan sikap dan persepsi ini tidak hanya sebatas unsur budaya, melainkan juga unsur politik.
“Hal yang pertama harus dilakukan adalah membangun dan memperkuat jaringan komunikasi di antara orang Sunda, paling tidak di antara para elitnya pada berbagai bidang kehidupan,” kata Uu.
Melalui jaringan komunikasi itu, masyarakat Sunda membangun kesadaran akan perlunya mendorong orang Sunda dalam kepemimpinan nasional.
Hal itu kemudian dirumuskan dalam visi misi yang konseptual, terarah dan terukur. Uu pun mendorong para tokoh Sunda membekali para kader politik Sunda terkait kepemimpinan nasional.
Politisi Senior Sunda Ttjetje Hidayat Padmadinata menilai, karakter orang Sunda terlalu lembut untuk bertarung dalam dunia politik praktis. Hal itu ditengarai sebagai penyebab minimnya orang Sunda di ranah kepemimpinan nasional.
Ketua Umum Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Dadang Rahmat Hidayat juga sependapat dengan hal itu. Bisa jadi benar bahwa orang Sunda tidak cocok dalam politik praktis karena karakternya terlalu baik.
Penyebab lainnya, bisa jadi karena orang Sunda tidak punya strategi bersama-sama. Dadang khawatir, dalam 10 tahun kedepan, masyarakat Sunda juga belum memiliki strategi yang sama.
“Perlu dibuat strategi siapa orangnya yang diangkat sosok yang diangkat jadi pemimpin maupun kapan waktu yang tepat untuk mengangkat pemimpin dari Jawa Barat,” ujar Dadang.
Tokoh Sunda yang juga mantan Pemimpin Redaksi Pikiran Rakyat Noe Firman menilai, masyarakat Sunda perlu memanfaatkan momentun pemilu dan pileg 2024 untuk mengangkat pemimpin Sunda.
Oleh karena itu, masyarakat perlu mengomunikasikan kepada setiap partai agar memprioritaskan orang Sunda menjadi pemimpin, baik level anggota legislatif maupun presiden.
Selain itu, masyarakat Sunda perlu membuat strategi agar para orang Sunda bisa memenangkan pemilu dan pileg 2024. Strategi perlu dimatangkan dari sekarang karena pemilu dan pileg tinggal dua tahun lagi.***