BANDUNG – Pesan-pesan yang isinya ajakan secara positif dan berperspektif komunikasi persuasif menjadi kunci penting bahkan utama, dalam mempercepat perubahan situasi dari masa pandemi menuju endemi Covid-19.

Oleh karena itu, harus terus dibangun sinergi antarkomponen masyarakat untuk menyadarkan publik tentang pentingnya upaya-upaya melandaikan kasus keterpaparan virus Covid-19 ini.

Demikian disampaikan pakar kesehatan masyarakat dari Unpad, Dr dr Irvan Afriandi, MPH, pada Webinar “Pandemi ke Endemi, Berkawan dengan Covid-19, Komunikasi Persuasif Mengawal Kesadaran Publik” yang diselenggarakan Ikatan Sarjana Ilmu Komunikasi (ISKI) Jawa Barat, Rabu 1 September 2021.

Pembicara lainnya adalah Kepala Bappelitbang Pemkot Bandung Anton Sunarwibowo dan Ketua Ikatan Doktor Ilmu Komunikasi (IDIK) Unpad Dr Pitoyo, MSi, dengan Moderator Dr Amalia Djuwita, MM. Kegiatan dibuka oleh Ketua ISKI Pusat Dr Dadang Rahmat Hidayat, SH, SSos, MSi serta Ketua ISKI Jabar dan guru besar Unisba Prof. Dr Atie Rachmiatie, MSi.

Ketua ISKI Jabar dan guru besar Unisba Prof. Dr. Hj. Atie Rachmiatie, M.Si (Capture zoom webinar).*

Menurut Irvan Afriandi, wacana yang disampaikan pemerintah pusat yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mesti dilihat secara luas dan menyeluruh. Semula pihak harus benar-benar memahami makna pandemi dan endemi sendiri yang harus diselaraskan dengan syarat-syarat mendasar secara medis.

“Kita sebetulnya bisa belajar dari pengalaman pandemi di masa lalu. Pada abad ke-14 kita mengalami apa yang disebut dengan ‘balck death’ akibat merebaknya pes dengan korban jiwa lebih dari 50 juta jiwa,” katanya.

Kemudian, pada awal abad ke-20 setelah Perang Dunia I merebak pula flu Spanyol yang juga menelan korban dengan jumlah sama.

“Pada dua pengalaman itu, dalam waktu tertentu kita bisa melewati fase pandemi ke endemi,” ujar Irfan.

Hanya, perubahan dari pandemi ke endemi harus melewati berbagai prasyarat yang dalam kasus Covid-19 ini sampai saat ini kita belum memenuhinya. Hal yang paling penting, kata Irvan Afriandi, adalah implementasi konsep 3M, 3-T, dan vaksinasi secara sinergis dan berkesinambungan.

“Kampanye 3-M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak), 3-T (testing, tracing, treatment), dan vaksinasi harus dijalankan dengan optimal sehingga dapat diwujudkan pelandaian keterpaparan. Tingkat transmisi dan kapasitas respons harus bisa dijaga barulah kita bisa masuk pada periode endemi,” tutur Irvan.

Lebih jauh disampaikan, berbagai riset terkini tentang strategis komunikasi persuasif di bidang psikologi dan medis, menunjukkan bahwa komunikasi positif jauh lebih efektif dibandingkan pesan-pesan komunikasi yang sifatnya menimbulkan rasa takut dan kekhawatiran.

Sementara itu, Pitoyo mengatakan komunikasi efektif menjadi faktor yang menentukan sebagai intervensi non-farmasi dalam masa pandemi Covid-19 ini. Salah satu yang harus muncul dalam komunikasi efektif adalah hadirnya sisi empati, sehingga menimbulkan kesan positif dari publik.

Ia mengatakan kita tidak memiliki pengalaman dalam aspek komunikasi menghadapi Covid-19.

“Yang paling penting harus terus fokus memberikan pemahaman dan terus memberikan pesan secara kontinu dan berkesinambungan kepada publik. Informasi harus terus di-update dan disampaikan dengan jelas dengan saluran yang paling mungkin diakses publik,” ujar Pitoyo.

Sementara Anton Sunarwibowo menegaskan, membangun kesadaran publik menjadi hal yang penting untuk semakin mengurangi keterpaparan.

“Kami harus terus menjalin sinergi dengan banyak pihak untuk membangun kesadaran publik untuk bisa bersahabat dengan Covid-19,” katanya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *