Oleh Hadi Purnama | Pengurus ISKI Jawa Barat

BENARKAH kemerdekaan berbicara dan berpendapat saat ini mulai terancam dan bahkan telah dikekang melalui berbagai undang-undang dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah? Beralasankah kekhawatiran ini?

***

Bukan tanpa alasan kekhawatiran itu muncul. Dalam beberapa pekan terakhir wacana tentang munculnya rezim yang otoriter telah menjadi perbincangan di ruang publik. Bahkan, sejumlah politisi (dari kalangan ”opisisi”) menuduh secara terbuka Presiden Jokowi telah menjelma menjadi seorang diktator!

Meski tudingan sepihak ini sangat debatable, bahkan telah disangkal Jokowi seraya mengatakan wajahnya (yang kerap diidentikan ndeso itu) sama sekali tidak menampilkan sosok seorang diktator. Namun, wacana tentang munculnya pemerintahan yang otoriter berpotensi menjadi bola liar, bila saja tidak ditangani secara seksama oleh Presiden Jokowi dan pemerintah saat ini. Bahkan, bukan tidak mungkin akan ditelan bulat-bulat oleh publik sebagai suatu kebenaran.

Memberangus Suara ”Kritis”?

Persoalannya, dari mana asal mula tudingan yang diarahkan kepada pemerintah saat ini? Dari sekian banyak alasan, salah satu pemicu munculnya tudingan bermula dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No.2  tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan serta ”pemberangusan” suara kritis di media sosial melalui instrumen UU ITE.

Bagi pemerintah dan sebagian besar anak bangsa, UU No.17 tahun 2013 (yang kemudian direvisi melalui Perppu No.2 tahun 2017) dinilai belum menganut  prinsip contrarius actus terhadap ormas yang dinilai bertentangan atau melanggar Pancasila sebagai ideologi negara dan UUD.   

Bila pada UU sebelumnya tindakan bagi ormas yang dianggap melanggar dinilai terlalu prosedural dan berbelit dalam menangani ormas yang bertentangan atau ”menolak” Pancasila. Maka melalui Perppu No.2, prose-durnya disederhanakan sehingga ormas yang terbukti melakukan tindakan separatisme dan atau menganut, mengembangkan, serta menyebarluaskan paham yang bertentangan dengan Pancasila dapat dikenai sanksi administratif atau sanksi pidana. Mekanisme peringatan tertulis, penghentian kegiatan hingga  pencabutan status badan hukum merupakan konsekuensi yang mesti ditanggung ormas yang dianggap melanggar.  

Batas Kemerdekaan Berpendapat

Sementara itu pemicu lainya adalah tindakan proaktif aparat penegak hukum di ranah media sosial, bagi individu maupun kelompok yang dianggap melakukan tindakan memroduksi serta menyebarkan kabar bohong (hoax), hasutan dan kebencian dengan mengunakan instrumen hukum UU No.19 tentang ITE, dinilai sebagai kemunduran dalam praktik demokrasi.

Meski pemerintah berkilah pemberlakuan instrumen hukum melalui Perppu No.2 dan UU No.19 tentang ITE bertujuan untuk menjaga keutuhan bangsa dan NKRI, namun tetap saja banyak suara yang menyoal langkah tegas pemerintah. Mereka menuduh pemerintah sekarang telah memasung kebebasan hak warga negara untuk menyuarakan pendapat serta berserikat yang diatur secara konstitusional dalam UUD 1945, khususnya seperti termaktub pada Pasal 28E (ayat 2 dan 3) serta Pasal 28F.

Persoalan kemerdekaan berbicara, baik secara langsung maupun melalui media (konvensional dan media sosial) menjadi tidak sederhana. Mengingat, kebebasan yang dimaksud bukan tanpa batas, sebagaimana diatur melalui Pasal 28J (ayat 1 dan 2) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Bahkan, Majelis Ulama Indonesia harus mengeluarkan Fatwa MUI No.24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Fatwa ini menjadi tuntunan moral tentang pentingnya mengemukakan pendapat yang senantiasa disertai dengan tanggung jawab. Alih-alih menyebarkan informasi yang mencerahkan dan mencerdaskan, penggunaan media sosial sebagai sarana berkomunikasi yang tidak disertai tanggung jawab justru hanya akan menjadi alat memroduksi dan menyebarkan informasi menyesatkan yang seringkali menimbulkan kesimpangsiuran, menyulut kebencian, permusuhan, bahkan dapat menyebabkan disharmoni sosial dan disintegrasi bangsa.

Perjuangan para pendahulu kita yang harus ditebus dengan pikiran, tenaga dan darah yang berujung pada proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, sejatinya untuk merebut kemerdekaan dan kebebasan anak bangsa dalam berpendapat dan mengekspresikan gagasan yang sejak lama diberangus oleh kaum penjajah. Maka, sebagai bukti rasa syukur kita atas nikmat kemerdekaan yang diraih oleh para pejuang, adalah tetap menjaga marwah kemerdekaan berpendapat dan berbicara secara bebas.

Maka, penulis kurang sependapat bila saat ini kemerdekaan berbicara mulai diberangus oleh pemerintah karena tendensi ke arah sana sangat tidak beralasan. Namun, penulis sepakat bila kebebasan dan kemerdekaan berbicara itu harus senantiasa dirawat dan dikembangkan dengan tetap berlandaskan pada konstitusi yang menjunjung tinggi tanggung jawab. Sejatinya kemerdekaan berbicara merupakan ciri sebuah bangsa yang merdeka.

Persoalannya, relakah kita apabila kemerdekaan yang diperjuangkan para pendahulu kita 72 tahun silam kemudian dikorbankan oleh kebebasan berbicara dan berpendapat minus tanggung jawab? Rasanya kita tidak rela sebagai sebuah bangsa yang sudah sepakat dan dipersatukan oleh sebuah ideologi hidup bernama Pancasila, kemudian tercerai berai hanya karena kebebasan berpendapat yang yang sudah di luar batas.***

Tulisan pernah dimuat di HU Pikiran Rakyat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *