Ilustrasi hoaks (Sumber: www.woke.id).*

Oleh Hadi Purnama*

MENGAPA penulis membuat judul yang menghadapkan secara langsung antara pers di satu sisi dengan hoaks di sisi lain secara oposisi biner? Yang pasti hoaks bukan fenomena baru bagi pers dan jurnalisme, tetapi kehadiran media baru seperti media sosial menjadikan hoaks ancaman paling serius bukan saja bagi keberadaan pers melainkan juga bagi praktik jurnalisme. Bahkan, bila tidak ditangani secara serius, kehadiran media sosial dan tentu saja beredarluasnya hoaks, bakal menjadi lonceng kematian bagi pers.

Pers

Pers sebagai institusi sosial penting memiliki peran yang sangat diperhitungkan, khususnya dalam masayarakat demokratis. Tidak heran bila pers disejajarkan dengan institusi sosial formal lainnya seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam kehidupan bernegara. Sehinga dalam sistem yang demokratis pers bukan hanya sebagai lembaga produsen informasi yang menjadi penyeimbang dari tiga pilar negara, namun juga berfungsi menjadi pengawas (watchdog) yang meminimalkan terjadinya malapraktik para penyelenggara negara dari ketiga pilar lainnya.

Hadi Purnama (Foto: Dok. ISKI Jabar).*

Ketika membahas pers versus hoaks, maka perlu ditegaskan jika keduanya adalah entitas yang berbeda, baik dari sejarah dan karakteristiknya. Pers merupakan institusi yang memroduksi konten jurnalisme serta mendistribusikannya dengan sejumlah tradisi, regulasi, struktur, prosedur, dan kode etik yang telah disepakati dan dipatuhi bersama. Terpenting, berita sebagai produk jurnalisme yang memenuhi sejumlah prinsip utama jurnalisme seperti akurasi, independen, keadilan, kerahasiaan, kemanusiaan, akuntabiltas, dan transparansi.

Salah satu ciri penting produk jurnalisme harus melalui tahap verifikasi, yaitu lolos dari proses pengecekan fakta yang dilakukan secara berjenjang dalam struktur institusi pers, mulai dari reporter hingga pemimpin redaksi. Prosedur verifikasi atas fakta yang secara evolutif telah menjadi tradisi kerja jurnalisme bagi insan pers, kemudian berhasil membangun reputasi institusi pers sebagai produsen informasi yang kredibel.

Berbeda dengan berita maka hoaks pada dasarnya bukanlah produk jurnalisme! Hoaks dibuat tidak melalui dan berdasarkan pada prosedur, cara kerja, dan kode etik jurnalisme. Sebaliknya, hoaks dengan beragam karakteristiknya secara sengaja tidak menggunakan tahap verifikasi, bahkan hoaks lebih sering memelintir fakta dengan informasi dan data palsu dengan beragam motif dan tujuan tertentu.

Pers di Era Post-Truth

Dalam buku, “Berita palsu, & Disinformasi” yang disusun UNESCO (2019), ditegaskan bahwa di banyak belahan dunia kepercayaan terhadap media dan sejatinya telah rapuh dan melemah jauh sebelum kehadiran media sosial. Namun, kerusakan terhadap reputasi jurnalisme tidak bisa dilepaskan dari besaranya volume dan jangkauan hoaks (mis/disinformasi) yang dikemas sebagai berita yang didistribusikan melalui media sosial.

Tantangan pers dan kerja jurnalisme kian berat saat ini, di suatu masa yang disebut dengan era Post-truth. Berbeda dengan era sebelumnya, kini berita harus bersaing dengan informasi yang lebih kuat unsur subjektivisme.

Konsumen media sosial digiring oleh informasi yang lebih menonjolkan opini yang sesuai dengan keyakinan dan preferensi politiknya. Fenomena ini diperburuk dengan adanya kecenderungan dimana konsumen informasi di era media sosial juga bisa bertindak sebagai produsen informasi tanpa disertai kompetensi dan kepakaran yang memadai. Sehinga, fenomena ”matinya kepakaran” menjadi penanda lonceng kematian bagi kerja jurnalisme, sekaligus menjadi ladang subur bagi para prosuden hoaks.

Peran Baru Pers

Sejarah pers yang dibangun melalui kerja jurnalisme berlandaskan sejumlah prinsip normatif seperti telah dipaparkan sebelumnya. Disiplin verifikasi sebagai salah satu tahapan terpenting sekaligus krusial dalam proses kerja jurnalisme bagi institusi pers, menjadi pembeda utama dengan hoaks. Boleh saja institusi pers yang dimanifestasikan oleh media arus utama berbasis media cetak, elektronik, dan daring terdisrupsi dengan hadirnya media baru seperti media sosial.

Philip Meyer dalam buku ”The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Informastion Age” (2004) memrediksi masa depan suram surat kabar di masa datang. Namun, surutnya kehadiran secara fisik media arus utama semata karena hadirnya teknologi baru dan media baru, bukan karena oleh ancaman misinformasi dan disinformasi. Sebaliknya, justru kehadiran institusi pers kian dibutuhkan di era kekacauan informasi saat ini untuk kembali menjadi sumber acuan pedoman informasi faktual yang kredibel.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk itu, mulai dari penguatan peran serta masyarakat dari sisi literasi media dan informasi hingga revitalisasi peran institusi pers dan peran para jurnalis. Khusus untuk penguatan institusi pers selain menjaga marwah kerja jurnalisme dalam disiplin verifikasi, Kovach dan Rossetiels (2010) menyarankan jurnalisme harus berubah dari sekadar sebuah produk menjadi pelayanan yang lebih bisa menjawab pertanyaan publik (sebagai konsumen informasi).

Pers dan jurnalisme harus berubah dari sekadar menggurui (mengatakan pada publik apa yang harus dan perlu mereka ketahui) menjadi dialog publik, dimana peran pers dan jurnalis menginformasikan dan membantu memfasilitasi diskusi.***

* Penulis, Dosen Prodi Digital Public Relations Telkom University dan Pengurus ISKI Jabar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *